Welcome to My Blog... :)

Sabtu, 27 November 2010

Pertentangan Antara Masyarakat Minangkabau

Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat yang mendiami sebahagian besar daerah Propinsi Sumatra Barat yang meliputi kawasan seluas 18.000 meter persegi yang memanjang dari utara ke selatan di antara Samudera Indonesia dan gugusan Bukit Barisan. Secara jelas batas daerah etnis Minangkabau ini sulit diketahui, bahkan apabila dikaji secara linguistik sama dengan “antah-berantah” (Navis, 1984). Hal ini disebabkan karena masyarakat Minangkabau lebih banyak melukiskan kondisi dan situasi daerahnya melalui sastra lisan (kaba dan tambo)

Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat memegang dan menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakatnya. Lareh sebagai “sistem politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang

Berangkat dari tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, Datuak Katamenggungan mengembangan sistem politik (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago. Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes adri atas). Sementara lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusek dari bumi (muncul dari bawah) Secara struktural, ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains) pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.

Perbedaan antara dua lareh ini disatu sisi telah memunculkan persaingan satu sama lain, bahkan menurut Christine Dobbin, persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak Katamenggungan dan Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu sendiri. Ini ditandai dengan persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut adat lareh Bodi Caniago dengan desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto Piliang, yang digambarkan Dobbin sampai terjadi “perang batu” dan “perang bedil”. Menurut Syafi’I Maarif, sampai sekarang pun, pola yang selalu bersaing antara dua lareh ini tetap bertahan dalam memperebutkan supremasi politik di seluruh Minangkabau, bahkan dicurigai juga terjadi di daerah-daerah rantau Minangkabau. Hal ini dilihat oleh Maarif dari pepatah-petitih Minangkabau yang lebih banyak bermuatan demokratis, yang dicurigainya sebagai bentuk pengaruh yang diciptakan orang Minangkabau penganut Bodi Caniago dalam memenangkan “persaingan” tersebut.

Ada kecenderungan “dualisme” dalam masyarakat Minangkabau. Ini misalnya terungkap dengan berbagai istilah yang digunakan, seperti “dualisme” (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai berubah-ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas” (Biezeveld, 2001), “sulit diterka” (Wahid, 1996), “ambiguous” (Sairin, 2002), dispute (Tanner, 1971). Konsep “dualisme” ini cenderung dikonotasikan secara negatif. Dalam pergaulan lintas budaya stereotip ini juga berkembang. Orang Minang sering dibilang bengkok hatinya (munafik, mendua). Hal tersirat dalam ungkapan “Padang Bengkok”. Dalam pepatah Minang juga ada yang mencerminkan perilaku ini: “Taimpik nak diateh, Takurung nak di lua” (Terhimpit mau di atas, Terkurung maunya di luar). Sikap ini mengindikasikan sifat oportunis orang Minang yang mau enak saja.

Tulisan Saanin Datuak Tan Pariaman, “Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya” secara tegas menyebutkan “masyarakat minangkabau memiliki pola dualisme” yang melihat bahwa masyarakat Minangkabau cenderung memiliki psikologi yang terbelah dua (dualisme). Menurut Saanin, ketika seseorang mempelajari Minangkabau, akan selalu dihadapkan pada masalah “dualisme” tersebut. Sifat dualisme seperti ini, misalnya terlihat jelas pada : (1) Penerapan aturan antara cara adat (matrilineal) dengan cara agama (patrilineal). (2) sistem politik (lareh) antara aristokratis dengan demokratis. (3) pola pengasuhan anak antara pengasuhan oleh mamak dengan pengasuhan oleh bapak. (4) sistem pewarisan (harta dan gelar) antara pewarisan ke kemenakan dengan pewarisan ke anak. Ini hanya beberapa contoh bentuk dualisme dalam masyarakat Minangkabau tersebut.

Sifat dasar masyarakatnya yang terbelah (dualisme) ini, tidaklah terbentuk begitu saja, tetapi secara struktural telah terbentuk sejak lama, yaitu sejak duo datuak pendiri adat Minangkabau menciptakan dua landasan adat (lareh) dalam masyarakatnya. Dalam tambo digambarkan, dua datuak ini yaitu Datuak Katamenggungan akhirnya menciptakan lareh Koto Piliang yang aristokratis (manitiak dari ateh), dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang akhirnya menciptakan lareh Bodi Caniago yang demokratis (mambusek dari bumi). Sebagai dua tokoh penting, maka terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini bisa dimaklumi, karena kedua tokoh ini digambarkan memang memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak Katamenggungan digambarkan sebagai “putra makhkota” yang akan mewarisi “kerajaan” ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang “raja”. Berbeda dengan Datuak Prapatiah Nan Sabatang yang justru terlahir dari rakyat biasa, suka merantau dan berwatak kerakyatan, serta memiliki pola pikir yang lembut dan egaliter.

Perbedan-perbedaan ini lah yang sering menjadi pemicu munculnya persaingan dan pertentangan diantara duo datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu. Puncaknya, terjadi setelah ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, yaitu dengan terjadinya “perang“ di Limo Kaum (Dobbin, 1983; Djamaris, 1991). Pada perkembangan kemudian, akhirnya kedua datuak ini lalu membentuk dua sistem politik (lareh) yang berbeda dan masing-masing nya saling berebut pengaruh dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau akhirnya terbelah dalam dua sistem politik (phratry dualism), dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak (Batuah, 1966). Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai sekarang ini (Maarif, 1996).

Dalam kasus yang lebih modern, kita menemukan pertentangan antara beberapa anak Minang yang berjasa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, yakni antara Syahrir, Hatta, dan Tan Malaka. Dalam Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 11-17 Agustus 2008 dimuat artikel pertentangan Tan Malaka dengan Mohammad Hatta. Mereka berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan Malaka percaya jika digabung antara Pan-Islamisme dan Komunisme, Indonesia bisa menjadi digdaya.

Pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah apakah Pertentangan dan persaingan sebagaimana yang disebutkan di atas menimbulkan silang sengketa yang berkepanjangan dan tak berkesudahan di Minang? Banyak ahli mengatakan sifat terbelah dua (dualisme) ini selalu membayangi kehidupan masyarakatnya, justru hal tidak menimbulkan kondisi disharmoni dalam masyarakatnya. Banyak ahli bahkan melihat bahwa Minangkabau memiliki kehidupan yang sangat dinamis. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu, terselip juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga dualisme ini justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama lain. Dalam tambo, menurut Navis (1984) dan juga Djamaris (1991), sintesis yang mengakhiri pertentangan antara duo datuak pendiri Minangkabau tersebut dilakukan melalui kehadiran tokoh Datuak Sakalok Dunia dan Banego-nego. Ini akhirnya melahirkan lareh baru yang disebut Lareh Nan Panjang, dimana sifat lareh ini sering dikatakan Koto Piliang bukan, Bodi Caniago antah (Koto Piliang bukan, tetapi dikatakan Bodi Caniago juga bukan).

Pada perkembangan kemudian, pola menyelesaikan pertentangan (sintesis dualisme) gaya duo datuak tersebut, misalnya terlihat dengan hadirnya filosofi yang mendasari kehidupan masyarakatnya yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Menurut Syarifuddin (1984), filosofi lebih sebagai bentuk sintesis yang dilakukan oelh masyarakatnya dengan masuknya Islam menjadi agama baru dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Begitu juga pola pengasuhan anak disentesiskan menjadi anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing), sedangkan sintesis dualisme dalam sistem pewarisan dilakukan melalui pewarisan harto pusako (harta komunal) kepada kemenakan (khususnya perempuan) dan harta pancarian (harta individual) diwariskan kepada anak.

Dalam adat terdapat juga perimbangan pertentangan. Sebagaimana adat dikatakan sebagai:

“Dibalun sabalun kuku, Dikambang seleba alam”

(Digumpal sekecil kuku, dikembang sebesar alam)

Dalam perhubungan Mamak/Paman dengan kemenakanpun terdapat perseimbangan pertentangan. Sebagaimana pepatah adat:

“Kamanakan manyambah lahia, Mamak manyambah batin”

“Kamanakan bapisau tajam, Mamak badagiang taba”

(Kemenakan menyembah secara lahir, mamak menyembah secara batin)

(Kemenakan mempunyai pisau tajam, mamak mempunyai daging yang tebal)

“Sayang di anak dilacuiti, sayang di kampuang ditinggakan

(Sayang pada anak dipukuli, sayang pada kampung ditinggalkan)

Pada sifat kerbau (yang merupakan simbol Minangkabau) menurut M. Nasroen terdapat juga hal perimbangan pertentangan ini. Kerbau ketika tunduk dan merendahkan kepala bukanlah ia tunduk sebenarnya dan takut. Tetapi isyarat ia akan menyerang.

Perimbangan pertentangan juga dapat kita lihat dalam sistem matrilineal Minangkabau yang memberikan kedudukan istimewa kepada kaum ibu. Kaum ibulah berpusat sistem keturunan orang Minangkabau. Sehingga persekutuan hidup Minangkabau mempunyai jaminan hidup dan kesejahteraan dari harta pusaka dan dana milik kaum/suku. Kaum ibulah yang berkuasa atas harta benda kaum seperti sawah, ladang, rumah dsb. Kaum ibu memilihara harta benda itu dengan sebaik-baiknya, sebab harta benda itu adalah jaminan bagi hidup dan keselamatan anak-anaknya sendiri.

Namun, kekuasaan kaum ibu terhadap harta benda itu tidak mengindikasi kesewenang-wenangan terhadap harta tersebut. Kaum laki-laki yaitu mamak/paman dalam kaum itu (saudara laki-laki ibu) mempunyai hak pengawasan atas harta benda itu. Tindakan atas harta milik kaum baik hubungan ke dalam dan yang berhubungan keluar (dengan orang lain) seperti mengadai, hanya bisa dilakukan dengan seizin mamak

Dalam prinsip ini, pertentangan-pertentangan yang ada tetap ada, tidak akan lenyap. Namun antara pertentang-pertentangan terdapat perimbangan. Perumpamaan yang mudah untuk memahami pernyataan ini adalah contoh sebagai berikut:

Ketika memasak gulai bahan yang dipakai diantaranya garam, lada, bawang, asam, dsb. Setelah dimasak dalam gulai itu, garam tetap asin, pedas lada tetap terasa, maung bawang dan asamnya asam juga tetap terasa. Yang kita temui dari gulai adalah harmoni/keseimbangan antara bahan-bahan dimana sifat yang satu dengan yang lain bertentangan. Kalau salah satu bahan-bahan itu tidak ada atau kurang, maka gulai sebagai satu kesatuan, tidak lagi enak.

Keadaan masyarakat Minangkabau yang membuktikan adanya dasar perimbangan pertentangan ini adalah mengenai adat Minangkabau itu sendiri yang berlaku prinsip perimbangan antara yang kekal dan yang berubah. Adat Minangkabau adalah kekal tetapi berubah-ubah. Demikian pula alam yang nyata ini. Alam kekal sampai kiamat, tetapi dibalik alam itu mengalami perubahan pula.

Kemampuan masyarakat Minangkabau dalam memecahkan dualisme agar tidak menjadi disharmoni inilah, dalam literatur sering digambarkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (Nasroen, 1954), “permusuhan dalam persahabatan (hostile in friendship)” (de Jong, 1960), dispute in harmony (Abdullah, 1966; Tanner, 1971), “dari dualisme menuju keesaan” (Saanin, 1989). Oleh sebab itu, menurut Saanin (1989), “dualisme menuju keesaan” ini adalah sesuatu yang khas mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Minangkabau, suku-bangsa Minangkabau maupun jiwa atau psikologis orang Minangkabau itu sendiri

Rabu, 03 November 2010

Warga Negara

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.

Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu.

Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.

Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.

Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).

Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.

Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.

Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.

Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.

Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.

Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.

Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia.

Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.

Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain.

Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.

Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.

Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.

Pemuda dan Sosialisasi

Pemuda adalah golongan manusia manusia muda yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan kearah yang lebih baik, agar dapat melanjutkan dan mengisi pembangunan yang kini telah berlangsung, pemuda di Indonesia dewasa ini sangat beraneka ragam, terutama bila dikaitkan dengan kesempatan pendidikan. Keragaman tersebut pada dasarnya tidak mengakibatkan perbedaan dalam pembinaan dan pengembangan generasi muda.

Proses kehidupan yang dialami oleh para pemuda Indonesia tiap hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat membawa pengauh yang besar pula dalam membina sikap untuk dapat hidup di masyarakat. Proses demikian itu bisa disebut dengan istilah sosialisasi, proses sosialisasi itu berlangsung sejak anak ada di dunia dan terus akan berproses hingga mencapai titik kulminasi.

jadi jelaslah sekarang keragaman pemuda Indonesia dilihat dari kesempatan pendidikannya serta dihubungkan dengan keragaman penduduk dalam suatu wilayah, maka proses sosialisasi yang dialami oleh para pemuda sangat rumit. Sehubungan dengan perkembangan individu pemuda itu sendiri dan dalam rangka melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, maka pengalaman-pengalaman yang dialainya itu kadang membingungkan dirinya sendiri.

Pemuda Indonesia

Pemuda dalam pengertian adalah manusia-manusia muda, akan tetapi di Indonesia ini sehubungan dengan adanya program pembinaan generasi muda pengertian pemuda diperinci dan tersurat dengan pasti. Ditinjau dari kelompok umur, maka pemuda Indonesia adalah sebagai berikut :

Masa bayi : 0 – 1 tahun

Masa anak : 1 – 12 tahun

Masa Puber : 12 – 15 tahun

Masa Pemuda : 15 – 21 tahun

Masa dewasa : 21 tahun keatas

Dilihat dari segi budaya atau fungsionalya maka dikenal istilah anak, remaja dan dewasa, dengan perincian sebagia berikut :

Golongan anak : 0 – 12 tahun

Golongan remaja : 13 – 18 tahun

Golongan dewasa : 18 (21) tahun keatas

Usia 0-18 tahun adalah merupakan sumber daya manusia muda, 16 – 21 tahun keatas dipandang telah memiliki kematangan pribadi dan 18(21) tahun adalah usia yagn telah diperbolehkan untuk menjadi pegawai baik pemerintah maupun swasta

Dilihat dari segi ideologis politis, generasi muda adalah mereka yang berusia 18 – 30 – 40 tahun, karena merupakan calon pengganti generasi terdahulu. Pengertian pemuda berdasarkan umur dan lembaga serta ruang lingkup tempat pemuda berada terdiri atas 3 katagori yaitu :

1. siswa, usia antara 6 – 18 tahun, masih duduk di bangku sekolah
2. Mahasiswa usia antara 18 – 25 tahun beradi di perguruan tinggi dan akademi
3. Pemuda di luar lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi yaitu mereka yang berusia 15 – 30 tahun keatas.

Akan tetapi, apabila melihat peran pemuda sehubungan dengan pembangunan, peran itu dibedakan menjadi dua yaitu

1. Didasarkan atas usaha pemuda untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Pemuda dalam hal ini dapat berperan sebagai penerus tradisi dengan jalan menaati tradisi yang berlaku
2. Didasarkan atas usaha menolak menyesuaikan diri dengan lingkungan. Peran pemuda jenis ini dapat dirinci dalam tiga sikap, yaitu : pertama jenis pemuda “pembangkit” mereka adalah pengurai atu pembuka kejelasan dari suatu masalah sosial. Mereka secara tidak langsung ktu mengubah masyarakat dan kebudayaan. Kedua pemuda pdelinkeun atau pemuda nakal. Mereka tidak berniat mengadakan perubahan, baik budaya maupun pada masyarakat, tetapi hanya berusaha memperoleh manfaat dari masyarakat dengan melakukan tidnakan menguntungkan bagi dirinya, sekalipun dalam kenyataannya merugikan. Ketiga, pemuda radikal. Mereka berkeinginan besar untuk mengubah masyarakat dan kebudayaan lewat cara-cara radikal, revolusioner.

Kedudukan pemuda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral, mahluk sosial. Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa dan pengoreksi. Sebagai mahluk sosial artinya pemuda tidak dapat berdiri sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma, kepribadian, dan pandangan hidup yagn dianut masyarakat. Sebagai mahluk individual artinya tidak melakukan kebebasan sebebas-bebasnya, tetapi disertai ras tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan Yang maha Esa.



Sosialisasi Pemuda

Melalui proses sosialisasi, seorang pemuda akna terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan demikian, tingkah laku seseorang akan dapat diramalkan. Dengan proses sosialisasi, seseorang menajdi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Dari keadaan tidak atau belum tersosialisasi, menjadi manusia masyarakat dan beradab. Kedirian dan kepribadian melalui proses sosialisasi dapat terbentuk. Dalam hal ini sosialisasi diartikan sebagai proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri, bagaiman cari hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya gar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya degnan sistem sosial.

Proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Berbeda dengan inkulturasi yang mementingkan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan dalam jiwa individu, sosialisasi dititik beratkan pada soal individu dalam kelompok melalui pendidikan dan perkembangannya. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. Kedirian (self) sebagai suatu prosuk sosialisasi, merupakan kesadaran terhadap diri sendri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. Kesadaran terhadap diri sendiri membuat timbulnya sebutan “aku” atau “saya” sebagai kedirian subyektif yang sulit dipelajari. Asal mula timbulnya kedirian :

1. Dalam proses sosialisasi mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya ia tidak disukai, tidak dihargai, tidak dipercaya; atau sebaliknya, ida disayangi, baik budi dandapt dipercaya
2. Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang ideal. Orang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus ia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain. Bentuk-bentuk kedirian ini berguna dalam meningkatkan ketaatan anak terhadap norma-norma sosial



Bertitik tolak dari pengertian pemuda, maka sosialisasi pemuda dimulai dari umur 10 tahun dalam lingkungan keluarga, tetangga, sekolah, dan jalur organisasi formal atau informal untuk berperan sebagai mahluk sosial, mahluk individual bagi pemuda

Thomas Ford Hoult, menyebutkan bahwa proses sosialisasi adalah proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standar yang terdapatdalam kebudayaan masyarakatnya. Menurut R.S. Lazarus, proses sosialisasi adalah proses akomodasi, dengan mana individu menghambat atau mengubah impuls-impuls sesuai dengan tekanan lingkungan, dan mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku-tingkah laku yang baru yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat

Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat

I. Pelapisan sosal

1. Pengertian

Menurut Pitririm A. Sorokin pelapisan social adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yg tersusun secara bertingkat

2. Pelapisan Sosial cirri tetap kelompok Sosial


Pelapisan masyarakat dalam masyarakat primitive :

· Berdasarkan jenis kelamun dan umur

· Klompok-kelompok suku

· Pemimpin yg berpengaruh

· Orang-orang yg dikucilkan

· Pembagian kerja

· Perbedaan struktur ekonomi

3. Terjadinya Pelapisan Sosial
:
* Terjadi dengan sendirinya
* Terjadi dengan sengaja
4. Pembedaan Sisitem pelapisan menururt Sifatnya :

* Sifat pelapisan masyarakat yang tertutup

* Sifat pelapisan masyarakat terbuka

* Beberapa teori tentang pelapisan social :

Aristoteles : orang kaya, menengah, melarat

Vilfredo pareto : elite dan non-elite

Karl max : kelas yang mempunyai tanah dan alat-alat produksi lainnya dan kelas yang tidak punya

Ukuran golongan masyarakat :

1. Ukuran kekayaan

2. Ukuran kekuasaan

3. Ukuran kehormatan

4. Ukuran Ilmu Pengetahuan

II. Kesamaan Derajat


1. Persamaan Hak : tercantum dalam Universal Declraration of Human Right
2. Persamaan Derajat di Indonesia : UUD ’45 pasal 27, 29 dan 31

3. Elite dan Massa

1) Elite

1. Pengertian : sekelompok orang yang terkemuka di bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan.
2. Fungsi elite dalam memegang strategi

Pembedaan elite pemegang strategi secara garis besar :

* Elite politik
* Elite ekonomi, militer, diplomatic, dan cendikiawan
* Elite agama, filsuf, pendidik, dan pemuka agama

2) Massa

1. Massa adalah suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spontan yang dalam beberapa hal menyerupai crowd.
2. Hal-hal penting dalam massa :

*. Keanggotaan berasal dari semua lapisan masyarakat

*. Massa adalah kelompok yg anonym

*. Sedikit interaksi antar anggota

*. Very loosely organized

3) Peranan individu di dalam massa penting sekali

4) Masyarakat dan massa

* massa adalah gambaran kosong dari masyarakat

5) Hakekat dan perilaku massa

* Bentuk perilaku massa terletak pada garis aktivitas individual dan bukan
* Pada tindakan bersama
6) Peranan elite terhadap massa :

· Pencerminan kehendak masyarakatnya

· Memajukan kehidupan masyarakat

· Peranan moral dan solidaritas kemanusiaan

· Memenuhi kebutuhan pemuasan hedonic

4. Pembangian Pendapatan

1) Komponen Pendapatan

Rumah tangga produsen dan rumah tangga konsumen

2) Perhitungan Pendapatan

a. Sewa Tanah

Ialah bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh pemilik tanah, karena telah menyewakan tanahnya pada penggarap

b. Upah

Bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh buruh, karena menyumbangkan tenaganya dalam proses produksi

c. Bunga Modal

Bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh pemilik modal, karena telah meminjamkan modalnya dalam proses produksi

d. Laba Pengusaha

Balas jasa yang berupa keuntungan, karena telah mengorganisasikan factor-faktor produksi dalam melakukan proses produksi.

3) Distribusi Pendapatan

Dua cara pendistribusian pendapatan Nasional :

1. Aliran Liberal

2. Aliran Pemerintah

Individu, Keluarga, dan Masyarakat

Manusia adalah makhluk social, yang mana mereka tidak bisa hidup sendiri didunia ini tanpa bantuan orang lain. Tuhan memberikan akal pada manusia, manusia mempunyai akal pikiran dan untuk mengembangkan sistem-sistem dalam hidupnya maka manusia menggunakan kemampuan akalnya. Mereka adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia terbiasa hidup berkelompok atau biasa disebut dengan “zoon politicon” yang artinya bahwa manusia itu adalah makhluk yang hidup bergaul dan berinteraksi satu dengan yang lainnya.



Manusia sebagai Makhluk Individu

Manusia juga merupakan makhluk individu. Individu disisni berarti tidak berbagi, namun bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat terbagi, melainkan suatu kesatuan yang terbatas. Menurut pandangan psikologi sosial, manusia itu disebut individu bila pola tingkah lakunya bersifat spesifik dirinya dan bukan lagi mengikuti pola tingkah laku umum. Ini berarti bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas didalam lingkungan sosialnya, meliankan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Didalam suatu kerumunan masa manusia cenderung menyingkirkan individualitasnya, karena tingkah laku yang ditampilkannya hampir identik dengan tingkah laku masa.

Pertumbuhan Individu

Pertumbuhan adalah suatu perubahan yang menuju kearah yang lebih maju, lebih dewasa. Pertumbuhan pada dasarnya adalah proses asosiasi, pada proses asosiasi yang primer adalah bagian-bagian. Bagian-bagian yang ada lebih dahulu, sedangkan keseluruhan ada pada kemudian. Bagian-bagian ini terikat satu sama lain menjadi keseluruhan asosiasi. Menurut aliran psikologi gestalt pertmbuhan adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi yang pokok adalah keseluruhan sedang bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian dari keselurhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain. Menurut aliran psikologi gestalt pertmbuhan adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi yang pokok adalah keseluruhan sedang bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian dari keselurhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan:
1. Pendirian Nativistik. Menurut para ahli dari golongan ini berpendapat bahwa pertumbuhan itu semata-mata ditentukan oleh factor-faktor yang dibawa sejak lahir
2. Pendirian Empiristik dan environmentalistik. Pendirian ini berlawanan dengan pendapat nativistik, mereka menganggap bahwa pertumbuhan individu semata-nmata tergantung pada lingkungan sedang dasar tidak berperan sama sekali.
3. Pendirian konvergensi dan interaksionisme. Aliran ini berpendapat bahwa interaksi antara dasar dan lingkungan dapat menentukan pertumbuhan individu.





KELUARGA DAN FUNGSINYA DIDALAM KEHIDUPAN MANUSIA


Keluarga dapat terbentuk dari sekumpulan individu, dan merupakan bagian dalam masyarakat juga.Keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahrikan individu dengan berbgai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Keluarga merupakan gejala universal yang terdapat dimana-mana di dunia ini. Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang belum menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut keluarga inti. Satu keluarga ini dapat juga terwujud menjadi keluarga luas dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang kerabat maupun yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti. Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakn didalam atau oleh keluarga itu. Macam-macam fungsi keluarga adalah :
1. Fungsi biologis
2. Fungsi Pemeliharaan
3. Fungsi Ekonomi
4. Fungsi Keagamaan
5. Fungsi Sosial




MASYARAKAT SUATU UNSUR DARI KEHIDUPAN MANUSIA

Berbicara tentang masyarakat, mereka adalah sekelompok manusia yang tinggal disekitar lingkungan tempat tinggal kita. Masyarakat adalah suatu istilah yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja masyarakat kota, masyarakat desa, masyarakat ilmiah, dan lain-lain. Sebenarnya masih banyak lagi makna dari masyarakat menurut para ahli.



Dalam perkembangan dan pertumbuhannya masyarakat dapata digolongkan menjadi :

1. Masyarakat sederhana.
Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitive) pola pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, nampaknya berpangkal tolak dari latar belakang adanya kelemahan dan kemampuan fisik antara seorang wanita dan pria dalam menghadapi tantangan-tantangan alam yang buas saat itu.
2. Masyarakat Maju.
Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelomok sosial, atau lebih dikenal dengan sebuatan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai.


Dalam lingkungan masyarakat maju, dapat dibedakan :

a. Masyarakat non industri. Secara garis besar, kelompok ini dapat digolongkan menjadi gua golongan yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder. Dalam kelompok primer, interaksi antar anggotanya terjdi lebih intensif, lebih erat, lebi akrab. Kelompok ini disebut juga kelompok face to face group.Sifag interaksi bercirak kekeluargaan dan lebih berdasarkan simpati. Pembagian kerja atau pembagian tugas pada kelompok ini dititik berakan pada kesadaran, tanggungjawab para anggotadan berlangsung atas dasar rasa simpati dan secara sukarela. Dalam kelompok sekunder terpaut saling hubungan tidak langsung, formal, juga kurang bersifat kekeluargaan. Oleh krn itu sifat interaksi, pembagian kerja, diatur atas dasar pertimbangan-pertimbagnan rasional obyektif. Para anggota menerima pembagian kerja atas dasar kemampuan / keahlian tertentu, disamping dituntut target dan tujuan tertentu yang telah ditentukan.
b. Masyarakat Industri. Contoh tukang roti, tukang sepatu, tukang bubut, tukang las




Manusia merupakan makhluk hidup yang mempunyai keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya, karena mereka adalah makhluk sosial. Oleh karena itu manusia ingin membentuk suatu kelurga, dimana dengan terbetuknya suatu keluarga itulah mereka jadi tidak hidup sendiri. Setelah mereka berkeluarga maka mereka akan menempate lingkungan barunya, dan dari sekumpulan keluarga itulah mereka bisa membentuk masyarakat. Maka dari itulah mereka saling berhubungan.